Tentang Air Beroksigen dan Air Heksagonal
Pada saat ini, di pasaran, telah beredar berbagai air minum dalam kemasan. Air minum yang dijual tidak lagi di promosikan sebagai “segar” atau dari “mata air pegunungan“, tatapi juga air beroksigen dan air heksagonal. Minuman semacam itu kini ramai memenuhi garai-garai penjualan di pasar swalayan. Air tersebut menjanjikan manfaat yang sepertinya sangat dahsyat, dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit yang secara medispun seringkali sulit diobati.
Meskipun demikian, seberapa nyata kehebatan klaim-klaim tersebut jika ditelaah lebi jauh? Air dan kehidupan adalah keniscayaan. Air sangat dibutuhkan dalam proses metabolisme tubuh manusia. Demikian vital dan semakin dan dibutuhkannya air dimanapun orang berada hingga pada zaman modern saat ini, air pun harus ditebus dengan uang. Si air minum ini memang telah menjadi komuditas yang sangat prospektif.
Menjual air tak cukup lagi dengan embel-embel “air yang diambil dari mata air pegunungan”. Sebab itu, inovasi seputar air dikembangkan sedemikian rupa. Air beroksigen dan air heksagonal mungkin mungkin salah satu “inovasi” yang akan memancing berbagai “inovasi” yang lain.
Salah satu molekul air (H2O) merupakan kolaborasi satu atom oksigen dangan dua atom hidogen. “Unsur oksigen terlarut dalam air secara alamiah memang tidak banyak. Sebab itu, orang yang memelihara ikan diakuarium sering menambahkan oksigen supaya ikan-ikannya mendapat suplai oksigen lebih banyak,” tutur Dr dr Septelia Inawati Wanandi dari Bagian Biokimia dan Biologi Molekuler, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Oksigen yang ditambahkan di akuarium tersebut bukan untuk diminum oleh para ikan penghuni akuarium, namun untuk bernafas melalui insang-insang mereka. Pada air minum kemasan beroksigen, oksigen ditambahkan pada air dalam suatu tekanan tinggi tertentu. Hal itu, menurut Septelia, memang bisa saja dilakukan.
Namun, Septelia mengingatkan, sifat kelarutan oksigen tambahan tersebut pada air sangat labil, mudah terlebaskan kembali ke udara. Terlebih jika air tersebut dalam kondisi diatas suhu ruangan (20 -30 derajat Celcius), terkena panas, atau sekedar terpapar cahaya matahari.
Septelia memaparkan, molekul-molekul air tersebut dalam keadaan cair bergerak liar tak beraturan. Namun ketika berwujud padat, seperti es atau salju, molekul-molekul air tersebut bertingkah laku lebih teratur dalam susunan yang rapi dan tertib. Keteraturan itu dapat diamati ketika setiap enam molekul air saling bergandengan membentuk susunan heksagonal (segi enam).
Susunan tersebut menciptakan sebuah ruang dibagian tengah, yang dapat memerangkap oksigen lain atau molekul lain. Kondisi itu menyebabkan apa yang kondang disebut sebagai anomali air. “karena itu, air yang didinginkan hingga suhu dibahah empat derajat Celcius hingga menjadi es, volumenya lebih besar ketimbang air dalam kondisi cair,” papar Septelia.
Dalam susunan demikian, memang otomatis memungkinkan air mengandung unsur oksigen lebih banyak dibandingkan air suhu ruangan, apalagi air hangat. Sebab itu, kata Septilia, meminum air dingin atau es terasa lebih segar dibandingkan air hangat. Selai karena suhunya lebih dingin, air dingin atau es mengandung oksigen lebih banyak.
Dari gambaran alamiah itu, manusia kemudian mencoba menciptakan susunan molekul air heksagonal, namun tetap dalam keadaan cair, bukan padat. Kedengarannya memang fantastis. Kalangan industri lalu menyikapinya dengan memasarkan alat pembuatnya dalam wujud yang praktis, sepraktis water heater listrik dikamar hotel.
Alat itu dikatakan mampu menjadikan air biasa menjadi air heksagonal, yang diklaim bisa menjadi dokter pribadi. Sebab, air yang tercipta dari alat itu dapat mengobati berbagai penyakit termasuk kankar. “Penciptaan itu memang mungkin saja, dengan mengunakan energi besar, seperti medan magnet yang kuat, struktur alami air cair menjadi heksagonal” tutur Septilia.
Kehebatan inovasi tersebut kemudian berujung pada pertanyaan, seberapa signifikan manfaatnya, sehigga air-air semacam itu perlu dikonsumsi manusia? Septelia secara halus mencoba menjawabnya dari logika ilmiah dasar. Air beroksigen susunan molekul tetap berbeda dari air heksagonal. Kesamaan keduanya adalah sama-sama mencoba menyuguhkan air dengan kandungan oksigen lebih banyak dari air biasa.
“Namun, pada kedua macam air itu kelarutan oksigen tambahan didalamnya tetap mudah terlepas. Ada toleransi suhu tertentu, sampai setidaknya diatas suhu ruangan, oksigen terlarut mudah lepas. Kalau lepas, ya lalu menjadi air biasa kembali,” Kata Septilia. padahal, dalam keterangan iklannya, air heksagonal, misalnya, direkomedasikan untuk membuat dari susu bayi, minuman hangat, hingga memasak.
“Air heksagonal dan air beroksigen kalau dipanaskan ya pasti oksigen terlarutnya terlepas,” tandas Septelia. Kalau toh air beroksigen atau heksagonal itu dalam suhu normal diminum, potensi oksigen terlepas tetap besar. Suhu tubuh manusia, sekitar 37 derajat Celcius, disebutkan Septilia, memungkinkan oksigen terlarut dalam air terlepaskan ketika memasuki tubuh. Hal itu mirip dengan jika kita sendawa setelah kita minum air berkarbonat (CO2).
JIka diandaikan kandungan oksigen terlarut itu mampu sampai diusus, tetap akan menumbulkan pertanyaan, “Apakah kapiler pada mukosa usus bisa menyerap oksigennya? Apakah daya serapnya lebih hebat dari alveoli pada paru-paru? Setahu saya, sampai sekarang organ yang didesain Tuhan untuk menyerap oksigen hanya paru-paru,” ujar Septilia.
Septilia juga mengingatkan bahwa berlebihan mengonsumsi oksigen juga tidak baik, sebab, oksigen adalah unsur yang berperan dalam proses oksidasi yang juga menghasilakn radikal bebas. Manusia tidak bisa terbebas dari radikal bebas ini karena manusia membutuhkan proses metabolisme yang notabene merupakan proses oksidasi. Meski demikian, tubuh secara alami juga memproduksi atioksidan sendiri (antioksi- dan endogen).
“Tercipta keseimbangan didalam tubuh, antara jumlah radikal bebas dengan antioksidannya. Kalau oksigen dalam tubuh berlebihan, bisa memancing jumlah radikal bebas berlebihan juga, menjadi stress oksidatif,” papar Septilia.
Hal itu juga dibenarkan pakar gizi Prof dr Waluyo S Soerjodibroto, Msc, PhD, SpG(K). Alih-alih menjadi sehat, produksi radikal bebes berlebih malah bisa berpotensi destruktif pada tubuh. Radikal bebas merupakan oksigen yang kesepian, sebab atom pada orbit terluarnya terdapat elektron yang tidak punya pasangan. Hal ini membuat si molekul menjadi liar, lalu secara radikal mencari pasangan dengan merampok elektron molekul lain dari berbagai sel-sel tubuh. Sebab itulah ia disebut radikal bebas. Keradikalan berantai terjadi ketika molekul yang terampok ikut-ikutan brutal merampas elektron molekul lain. Kondisi itulah yang membuat sel-sel tubuh rusak.
“Manfaat air beroksigen dan juga air heksagonal, sejauh ini belum terbukti secara ilmiah ataupun secara klinis, paling hanya testimonial saja,” Ujar Waluyo. Septilia pun berujar serupa, kalau hanya sekedar memberi kesegaran, air beroksigen dan air heksagonal tidak masalah dicoba. Setidaknya kesegarannya tidak jauh berbeda dengan kesegaran air dari kulkas. (SF)
Sumber: Koran Kompas